Friday, December 30, 2011

Barry Likumahuwa

Barry Likumahuwa 
Ciptakan Jazz yang Fun


Barry Likumahua (Foto: Adrianus Adrianto)


Dari nama belakangnya, orang mahfum akan bakat musiknya yang besar. Meski sempat terbebani nama besar sang ayah, putra Benny Likumahuwa ini akhirnya bisa membuktikan diri dan mengukir jejak sendiri. Di tangannya, instrumen bass dan musik jazz jadi terdengar asyik dan bisa dinikmati semua kalangan.
Lahir dan besar di lingkungan pemusik, mau tak mau menyeret Elseos Jeberani Emanuel Likumahuwa (26) jatuh cinta pada musik. Bagaimana tidak, sejak masih di dalam kandungan sang bunda, Ribkah Ariadini, Barry, demikian ia biasa disapa, setiap hari dicekoki dengan musik, terutama musik jazz kreasi sang ayah, Benny Likumahuwa.Tapi, kecintaan Barry yang sesungguhnya pada jazz baru benar-benar tumbuh saat usia 11 tahun. “Waktu itu Papa dan Mama ngajakin aku ke festival jazz. Di situ aku nonton penampilan grup Chick Korea , dan langsung jatuh cinta. Terutama sama permainan bass John Pattituci, bassis Chick Korea ,” kisah pria kelahiran 14 Juni 1983 ini.
Masuk bangku SMA, Barry membentuk band bersama teman sekolahnya. Menjajal berbagai panggung sekolah, Barry seolah tak terpisahkan dengan bass-nya. “Aku pilih bass karena aku tertarik mengeksplornya. Orang kan, tahunya bass cenderung sebagai instrumen belakang, hanya untuk rhtym dan menjaga beat . Padahal, enggak juga. Bass itu bisa dimainkan dengan banyak cara, bisa tiba-tiba di depan, sebagai lead , atau solo juga.”
Saking cintanya pada bass dan musik jazz, Barry remaja bahkan sempat bertekad tak mau menginjakkan kaki di bangku kuliah. Barry bertekad hidup sepenuhnya dari musik.Tentu saja tekad bungsu dari 3 bersaudara ini membuat pusing kedua orangtuanya. “Akhirnya Papa-Mama mengultimatum. Kalau memang bisa hidup dari musik, enggak kuliah pun, enggak apa-apa.”
Sayang, tekad bulat saja tak cukup.Setelah menunggu sekian waktu, tak ada job yang menghampiri Barry. “Ya, udah. Mau enggak mau harus kuliah. Itu pun, nyari yang murah dan cepat, karena sebenarnya emang enggak pengen kuliah,” kisah Barry yang akhirnya menyelesaikan D-1 jurusan desain grafis.
Usai kuliah, Barry kembali menggantungkan hidup dari musik. Meski rajin menggelar pertunjukan, tak banyak rupiah yang bisa diraup Barry kala itu. “Udah pada tahulah kalau jazz itu kan, bayarannya paling kecil,” seloroh Barry. Tapi, dewi fortuna akhirnya memihak pada Barry. Pada satu pertunjukan di tahun 2003, ia dipertemukan dengan Glenn Fredly.
Glenn yang jatuh cinta dengan betotan bass Barry yang apik, langsung menggandengnya menjadi personil tetap di band pengiring. Dari sinilah perjalanan profesional Barry dimulai. Perlahan namun pasti, nama Barry pun mulai dikenal, tak hanya di kancah musik jazz, tapi juga pop.
“Pop itu untuk penyokong dan nambah tabungan. Dari jazz kan, enggak bisa hidup. Kalau mau hidup dari musik, harus bisa lihat realitas,” ujar Barry yang bersama Glenn, banyak menangani proyek musik. “Enggak cuma main bass, tapi juga jadi arranger dan music director .”
Namun, masa-masa ‘bulan madu’ Barry-Glenn hanya bertahan 4 tahun. Merasa tak lagi sejalan dalam visi dan idealisme, Barry pun melepas posisinya sebagai bassis di band pengiring Glenn. Tak lama, Barry menerima tawaran bermain bersama Dewi Sandra dan Agnes Monica.
Barry, Bukan Benny
Meski sempat “mendua”, rupanya hati dan jiwa Barry tetap terikat pada jazz. Mimpi dan obsesinya pun hanya untuk genre musik satu ini. Lebih jauh, pria berlesung pipi ini bahkan juga berhasrat menjadikan bassis sebagai pentolan alias garda depan. Hasrat inilah yang mendorong Barry menelurkan proyek solo perdananya yang dinamai Barry Likumahuwa Project (BLP), 2006 silam.
Awalnya serba tak sengaja. Saat ajang tahunan Java Jazz digelar tahun itu, Barry diminta mengisi salah satu panggung. Karena dadakan, Barry yang belum memiliki band, terpaksa mencomot teman-teman pemusik yang sudah dikenalnya, dan menggunakan namanya sendiri sebagai nama band.
Tak disangka, band instan itu justru memukau. Tahun 2008 BLP meluncurkan album perdana bertajuk Goodspell dengan hits Mati Saja . Alirannya, tentu saja jazz. Sembilan dari 11 lagu di album ini adalah ciptaan Barry. Hebatnya, kemunculan BLP berhasil mencuri perhatian, khususnya kaum muda. Tentang pencapaiannya ini, Barry patut bangga.
“Anak muda sekarang, fenomenanya mendadak jazz. Banyak yang suka, walau mungkin kalau ditanya banyak enggak tahunya. Tapi enggak masalah. Semua itu, termasuk festival jazz yang marak, bisa jadi kesempatan buat musisi dan pencinta jazz beneran untuk memperkenalkan jazz sesungguhnya.”
Satu resep Barry demi memasukkan jazz di kalangan muda, mencoba tampil beda. “Banyak musisi jazz yang gayanya serius, diam dan tenang. Kalau aku beda. Aku ingin main di panggung jazz dengan gaya rockstar . Kenyataannya, sejauh ini lumayan banyak yang suka. Jazz itu enggak selalu berat, tapi bisa fun juga,” ujar Barry yang sempat merasa terbebani dengan nama besar sang ayah.
“Papa adalah guru musik terbaikku.Tapi, ketika aku memutuskan serius di musik, aku ingin orang mau main denganku karena memang aku bagus. Bukan karena Papa. Capek juga selalu diperkenalkan,‘Ini Barry, anak Benny.’ Bukannya, “Barry, pemain bass.’ Ini sempat jadi momok buatku,” ujar Barry yang bahkan pernah nekat mengganti namanya dengan Barry Likoe.
Tapi suatu peristiwa akhirnya membuat Barry kembali menggunakan nama Likumahuwa. “Waktu itu aku main dalam sebuah acara musik. Papa-Mama ternyata hadir. Nah, waktu melihat buku acara, Papa kaget banget membaca namaku. Barry Likoe, bukannya Barry Likumahuwa.”
Saat itu sempat terbersit di benak Benny, putra bungsunya tak mau lagi menyandang nama keluarga. Melihat reaksi kecewa sang Ayah, Barry pun menyerah. “Akhirnya aku pakai nama Likumahuwa lagi dengan keyakinan, satu saat orang bisa tahu aku karena karyaku, bukan karena nama belakangku.” Dan kini Barry boleh berbangga. Di usia muda, cita-citanya telah pun terwujud.
Yetta Angelina

No comments:

Post a Comment

*

Connect With Us

Instructions

Recomended

Followers

About Me

Pages